Kalau kita melihat begitu banyak masalah dalam rumah ...maka hanya dengan belajar dan terus belaja maka kedamaian ada di dalam RUMAH...setidaknya kita mulai dari rumah untuk membangun karakter bagi generasi penerus untuk INDONESIA...kalaupun ada di luar lembaga KURSUS ...apakah kita tidak mulai belajar dengan belajar berarti RUMAH AKAN MENJADI CERDAS...tentunya penghuni jadi CERDAS secerdas anak-anak kita marilah kita mulai belajar
Senin, 12 Desember 2011
Sabtu, 03 Desember 2011
RUANG LINGKUP PENGELOLAAN KEGIATAN DI LEMBAGA PAUD
RUANG LINGKUP PENGELOLAAN KEGIATAN DI
LEMBAGA PAUD
A. Latar Belakang Pentingnya Pengelolaan Kegiatan di lembaga PAUD (KB dan
TPA).
Pendidikan
Anak Usia Dini sangat penting dilaksanakan sebagai dasar bagi pembentukan
kepribadian manusia secara utuh, yaitu untuk pembentukan karakter, budi pekerti
luhur, cerdas, ceria, terampil dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan usia dini dapat dimulai di rumah atau dalam keluarga, perkembangan
anak pada tahun-tahun pertama sangat penting dan akan menentukan kualitasnya di
masa depan.
Oelh karena
itu, upaya-upaya pengembangan anak usia dini hendaknya dilakukan melalui
belajar dan melalui bermain (learning
through games). Hal ini karena bermain merupakan kegiatan yang menyenangkan
bagi anak melalui bermain anak memperoleh kesempatan untuk bereksplorasi (exploration), menemukan (finding), mengekspresikan (expression), perasaannya dan berkreasi (creation).
Lembaga-lembaga
PAUD di Indonesia memiliki pijakan yang sangat kuat bernpa landasan yuridis,
landasan filosofis, landasan religius, dan landasan keilmuan serta landasan
empirik.
1. Landasan yuridis adalah landasan
yang berkaitan dengan pentingnya penyelenggaraan lembaga PAUD (KB dan TPA).
2. Landasan filosofis dan religius, yaitu landasan yang didasarkan pada
keyakinan agama yang dianut oleh para orang tua anak usia dini.
3. Landasan empirik adalah landasan yang berdasarkan pada fakta yang
terdapat di lapangan.
4. Landasan keilmuan adalah teori-teori dan kajian-kajian yang melandasi
apa, mengapa, dan bagaimana anak usia dini mendapat pengasuhan, pendidikan dan
perlindungan yang tepat.
B. Pengelolaan Kegiatan di Kelompok Bermain (KB).
Ruang
lingkup pengelolaan lembaga PAUD berdasarkan rentangan usia kehidupan adalah :
0,0 tahun-2 tahun : Pendidikan keluarga.
2,1 tahun-6 tahun : Pendidikan di Taman Penitipan Anak (TPA).
3 tahun-6 tahun : Kelompok Bermain (KB).
4 tahun-6 tahun : Taman Kanak-kanak.
6,1 tahun-8 tahun : SD Kelas Awal.
Landasan
ruang lingkup pengelolaan kegiatan di lembaga PAUD (Kelompok Bermain dan TamanPendidikan
Anak) adalah landasan yuridis, filosofis dan religius, empirik, dan landasan
keilmuan secara teoretis. Pengelolaan lembaga PAUD pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan orang dewasa secara sadar dan bertanggung jawab
untuk memberikan pengaruh positif pada anak usia dini sehingga multipotensi dan
multikecerdasan yang dimiliki oleh anak usia dini dapat berkembang secara
optimal.
Hakikat
pengelolaan kegiatan di Kelompok Bermain adalah merupakan salah satu alternatif
upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak prasekolah melalui Kelompok Bermain
dalam aspek-aspek pendidikan, pemberian gizi, dan kesehatan yang dilakukan oleh
lembaga atau lingkungan yang terdiri dari keluarga, sekolah, lembaga-lembaga
perawatan, keagamaan dan pengasuhan anak serta teman sebaya yang berpengaruh
terhadap tumbuh kembang anak. Hakikat pengelolaan kegiatan di Kelompok Bermain
merujuk pada :
1. Pengertian anak bayi tiga tahun (batita).
2, Karakteristik perkembangan fisik, kognitif, dan
sosial emosional.
3. Teori psikologi perkembangan anak.
4. Kontinum perkembangan belajar anak.
5. Bentuk pendidikan di Kelompok Bermain.
Tujuan
pengelolaan kegiatan di Kelompok Bermain adalah untuk membantu meletakkan dasar
pengembangan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan daya cipta yang diperlukan
oleh anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar siap memasuki
lembaga pendidikan selanjutnya, dan untuk pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya.
Pendekatan
pengelolaan kegiatan di Kelompok Bermain dilakukan berdasarkan prinsip berikut.
1. Prinsip
pendidikan anak usia dini, yaitu berorientasi pada kebutuhan anak, belajar
melalui bermain, kreatif dan inovatif, lingkungan yang kondusif, menggunakan
pembelajaran terpadu, mengembangkan keterampilan hidup, menggunakan berbagai
media dan sumber belajar.
2. Prinsip perkembangan anak.
3. Prinsip belajar melalui bermain.
C. Pengelolaan Kegiatan di Taman Penitipan Anak (TPA)
Pentingnya
pelayanan yang terpadu (kesehatan-gizi-psikososial-agama-pendidikan) untuk
anak usia lahir tiga tahun. Hal
ini sebagai upaya meletakkan dasar-dasar perkembangan yang baik pada diri anak
secara holistik sehingga anak dapat mengenal diri dari lingkungannya. Semua
kegiatan dilaksanakan dengan bermain sambil belajar yang dapat memenuhi
kebutuhan jasmani dan rohani serta memberikan rasa aman dan menyenangkan bagi
anak.
Hakikat TPA
adalah TPA sebagai kebutuhan, perizinan TPA, bentuk dan karakter TPA,
penyelenggaraan TPA, menuju TPA masa depan. Tujuan pengelolaan TPA adalah untuk
anak, orang tua, masyarakat.
Pendekatan
TPA melalui prinsip pendidikan anak, prinsip perkembangan anak, dan dasar
filsafat pendidikan di TPA, yaitu tempa,asah, asih, asuh; sedangkan upaya untuk
mewujudkan karakteristik anak secara holistik dan terpadu di TPA melalui
olahraga, gizi dan kesehatan.
RUMAH CERDAS DAN KREATIF SUMBER PEMBELAJARAN TANPA BATAS
Kemampuan
membaca (Reading Literacy) anak-anak Indonesia sangat rendah
bila
dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, bahkan dalam kawasan
ASEAN sekali pun. International Association for Evaluation of Educational (IEA)
pada tahun 1992 dalam sebuah studi kemampuan
membaca murid-murid Sekolah Dasar Kelas IV pada 30 negara di dunia,
menyimpulkan bahwa Indonesia menempati urutan ke 29 setingkat di atas Venezuela
yang menempati peringkat terakhir pada urutan ke 30.
Data di atas relevan
dengan hasil studi dari Vincent Greannary yang dikutip oleh Worl Bank dalam
sebuah Laporan Pendidikan “Education in Indonesia From Cricis to Recovery“
tahun 1998. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan membaca anak-anak kelas VI Sekolah Dasar kita hanya mampu meraih kedudukan paling akhir
dengan nilai 51,7 setelah Filipina yang memperoleh nilai 52,6 dan Thailand
dengan nilai 65,1 serta Singapura dengan nilai 74,0 dan Hongkong yang
memperoleh nilai 75.5
Buruknya kemampuan membaca
anak-anak kita sebagaimana data di atas berdampak pada kekurangmampuan mereka
dalam penguasan bidang ilmu pengetahuan
dan matematika. Hasil tes yang
dilakukan oleh Trends in International Mathematies and Science Study (TIMSS) dalam tahun 2003 pada 50 negara di dunia
terhadap para siswa kelas II SLTP, menunjukkan prestasi siswa-siswa Indonesia
hanya mampu meraih peringkat ke 34 dalam kemampuan
bidang matematika dengan nilai 411
di bawah nilai rata-rata internasional yang 467. Sedangkan hasil tes bidang
ilmu pengetahuan mereka hanya mampu menduduki peringkat ke 36 dengan nilai
420 di bawah nilai rata-rata internasioal 474. Dibandingkan dengan anak-anak Malaysia mereka
telah berhasil menduduki peringkat ke 10 dalam kemampuan bidang matematika yang
memperoleh nilai 508 di atas nilai
rata-rata internasional. Dan dalam bidang
ilmu pengetahuan mereka menduduki peringkat ke 20 dengan nilai 510 di atas
nilai rata-rata internasional. Dengan demikian tampak jelas bahwa kecerdasan bangsa kita sangat jauh
ketinggalan di bawah negara-negara berkembang lainnya.
United Nations
Development Programme (UNDP) menjadikan angka buta huruf dewasa (adult
illiteracy rate) sebagai suatu barometer dalam mengukur kualitas suatu
bangsa. Tinggi rendahnya angka buta huruf akan menentukan pula tinggi
rendahnya Indeks Pembangunan Manusia
(Human Development Index – HDI)
bangsa itu.
Berdasarkan laporan UNDP
tahun 2003 dalam “Human
Development Report 2003” bahwa Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Indeks – HDI)
berdasarkan angka buta huruf menunjukkan bahwa “pembangunan manusia di Indonesia“ menempati urutan yang ke 112
dari 174 negara di dunia yang dievaluasi. Sedangkan Vietnam menempati urutan ke 109,
padahal negara itu baru saja keluar dari konflik politik yang cukup besar.
Namun negara mereka lebih yakin bahwa dengan “membangun manusianya“ sebagai prioritas terdepan, akan mampu
mengejar ketinggalan yang selama ini mereka alami.
Melihat beberapa hasil
studi di atas dan laporan United Nations Development Programme (UNDP) maka
dapat diambil kesimpulan (hipotesis)
bahwa “ kekurangmampuan anak-anak kita
dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta tingginya angka buta huruf dewasa (adult illiteracy rate) di Indonesia
adalah akibat membaca belum menjadi
kebutuhan hidup dan belum menjadi
budaya bangsa. Oleh sebab itu
membaca harus dijadikan kebutuhan hidup dan budaya bangsa kita. Mengingat
membaca merupakan suatu bentuk kegiatan budaya menurut H.A.R Tilaar (1999 :
381) maka untuk mengubah perilaku masyarakat gemar membaca membutuhkan suatu
perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat kita.
Mengadakan perubahan budaya masyarakat memerlukan suatu proses dan waktu
panjang sekitar satu atau dua generasi, tergantung dari “politicaal will pemerintah dan masyarakat“ Ada pun ukuran waktu sebuah generasi adalah
berkisar sekitar 15 – 25 tahun.
Apabila
rendahnya minat dan kemampuan membaca masyarakat kita sebagaimana
terwakili oleh anak-anak dalam beberapa penelitian di atas dibiarkan sampai
pada suatu saat tetap status quo maka dalam persaingan global kita akan
selalu ketinggalan dengan sesama negara berkembang, apalagi dengan
negara-negara maju lainnya. Kita tidak akan mampu mengatasi segala persoalan
sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya selama SDM kita tidak
kompetitif, karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, akibat lemahnya kemauan dan kemampuan
membaca.
Pengalaman pahit telah
menerpa bangsa kita pada pertengahan tahun dalam bulan Juli 1997. Akibat krisis
moneter yang melanda kawasan Asia Tenggara dan Kawasan Asia Timur maka ekonomi
kita telah tercabik-cabik.
Perkelanaan krisis
ekonomi kita terlalu panjang waktunya bila dibandingkan dengan negara-negara
kawasan Asia Tenggara dan kawasan Asia Timur. Korea Selatan, Thailand,
Malaysia
dan Singapura, mampu mengatasi krisis ekonomi bangsanya relatif dalam waktu
pendek hanya sekitar 2 – 3 tahun saja. Mereka telah mempunyai SDM yang
kompetitif, unggul, kreatif, siap menghadapi segala bentuk perubahan sosial,
ekonomi, politik, budaya dan lainnya. Mereka telah siap jauh-jauh waktu sebelum
diberlakukanya perdagangan bebas kawasan ASEAN tahun 2003 yaitu Asean Free
Trade Area (AFTA) atau perdagangan bebas dalam kawasan Asia Pasifik yaitu Asia
Pacific Ekonomic Cooperation (APEC) yang akan dimulai pada tahun 2020
mendatang. Kesiapan SDM Unggul itulah sebagai kunci kemampuan suatu bangsa
dalam menghadapi segala bentuk tantangan
baik dari dalam maupun dari luar.
Kehidupan abad 21 ini
menurut H.A.R Tillar (1999 : 55) adalah menuntut manusia unggul dan hasil karya
yang unggul pula. Keunggulan dimaksud adalah keunggulan partisipatoris, artinya
manusia unggul yang selalu ikut serta secara aktif di dalam persaingan yang
sehat untuk mencari dan mendapatkan yang terbaik dari yang baik. Keunggulan
partisipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk menggali dan mengembangkan
seluruh potensi individual yang akan digunakan di dalam kehidupan yang penuh persaingan yang semakin
lama semakin tajam dan akan menjadi kejam bagi manusia yang tidak mau bekerja
keras dan belajar keras. Suatu upaya
untuk mendukung perwujudan manusia unggul, maka kita harus mengadakan perubahan
sikap dan perilaku budaya dari tidak suka membaca menjadi masyarakat
membaca (reading society). Karena
membaca menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup.
Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui
budaya masyarakat membaca kita akan melangkah menuju masyarakat belajar (learning society). Prinsip belajar dalam
abad 21 menurut UNESCO (1996)
harus didasarkan pada empat pilar yaitu : 1) learning to thing – belajar berpikir ; 2) learning to do ---- belajar berbuat
; 3) learning to be --- belajar untuk tetap hidup, dan 4) learning to live together ---- yaitu
belajar hidup bersama antar bangsa. Berangkat dari terwujudnya masyarakat
belajar (learning society) maka akan
mencapai bangsa yang cerdas (educated
nation) sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat
Madani (Civil Society) Bal Dhatun
Tayyibatun Wa Rabbun Ghafuur.
Lemahnya Sarana dan Prasarana Pendidikan
Salah
satu faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak kita tergolong rendah
karena sarana dan prasarana pendidikan khususnya perpustakaan dengan
buku-bukunya belum mendapat prioritas dalam penyelenggaraannya. Sedangkan
kegiatan membaca membutuhkan adanya buku-buku yang cukup dan bermutu serta
eksistensi perpustakaan dalam menunjang proses pembelajaran.
Faktor lain yang menghambat kegiatan anak-anak untuk
mau membaca adalah kurikulum yang tidak secara tegas mencantumkan kegiatan
membaca dalam suatu bahan kajian, serta para tenaga kependidikan baik sebagai
guru, dosen maupun para pustakawan yang tidak memberikan motivasi pada
anak-anak peserta didik bahwa membaca
itu penting untuk menambah ilmu pengetahuan, melatih berfikir kritis,
menganalisis persoalan, dan sebagainya.
Perpustakaan dan Buku
Di hampir semua sekolah
pada semua jenis dan jenjang pendidikan, kondisi perpustakaannya masih belum
memenuhi standar sarana dan prasarana pendidikan. Perpustakaan sekolah belum
sepenuhnya berfungsi. Jumlah buku-buku perpustakaan jauh dari mencukupi
kebutuhan tuntutan membaca sebagai basis pendidikan, serta peralatan dan tenaga
yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Padahal perpustakaan sekolah merupakan
sumber membaca dan sumber belajar sepanjang hayat yang sangat vital dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Buku-buku bermutu yang menyangkut isi, bahasa,
pengarang, lay-out atau penyajiannya yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan
kecerdasan seseorang akan dapat “merangsang berahi membaca” orang tersebut.
Demikian pula kalau buku-buku dalam semua jenisnya tersebar luas secara merata
ke berbagai lapisan masyarakat, mudah didapat dimana-mana, serta harganya dapat
dijangkau oleh semua tingkatan sosial ekonomi masyarakat, maka kegiatan membaca
akan tumbuh dengan sendirinya. Pada akhirnya akan tercipta sebuah kondisi “masyarakat
konsumen membaca” yang akan mengkonsumsi buku-buku setiap hari sebagai
kebutuhan pokok dalam hidup keseharian.Perluasan jangkauan layanan perpustakaan baik melalui
perpustakaan menetap atau perpustakaan mobil keliling di pusat-pusat kegiatan
masyarakat desa, RW/RT secara merata dan berkesinambungan akan dapat menjadikan
masyarakat membaca (reading society). Semakin besar peluang masyarakat
untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar luas, semakin besar pula
stimulasi membaca sesama warga masyarakat
Sistem Pendidikan Nasional dan
Kurikulum
Sistem Pendidikan Nasional yang diatur dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diharapkan dapat memberikan arah agar tujuan
pendidikan di tanah air semakin jelas dalam mengembangkan kemampuan potensi
anak bangsa agar terwujudnya SDM yang kompetitif dalam era globalisasi,
sehingga bangsa Indonesia
tidak selalu ketinggalan dalam kecerdasan intelektual. Oleh sebab itu
penyelenggaraan pendidikan harus memenuhi beberapa prinsip antara lain :
a)
sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang
berlangsung sepanjang hayat.
b)
Mengembangkan budaya membaca, menulis dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat.
Kedua prinsip di atas harus saling bergayut. Artinya dalam proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat, harus diisi
dengan kegiatan pengembangan budaya membaca, menulis dan berhitung.Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi
khususnya dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia harus memuat kegiatan
pengembangan budaya membaca dan menulis dengan alokasi waktu yang cukup memberi
kesempatan banyak untuk membaca.Demikian pula dalam bahan kajian
seni dan budaya, cakupan kegiatan menulis harus jelas dan berimbang
dengan kegiatan menggambar/melukis, menyanyi dan menari.Kegiatan membaca dan menulis tidak saja menjadi
prioritas dalam Bahan Kajian Bahasa Indonesia dan Bahan Kajian Seni dan Budaya,
tetapi hendaknya juga secara implicit harus tercantum dalam Bahan-bahan Kajian
lainnya.
3.
Paradigma Tenaga Kependidikan
Guru, dosen maupun para pustakawan sekolah sebagai
tenaga kependidikan, harus merubah mekanisme proses pembelajaran menuju “membaca”
sebagai suatu sistem belajar sepanjang hayat.Setiap guru, dosen dalam semua bahan kajian harus
dapat memainkan perannya sebagai motivator agar para peserta didik bergairah
untuk banyak membaca buku-buku penunjang kurikulum pada bahan kajian
masing-masing. Misalnya dengan memberi tugas-tugas rumah setiap kali selesai pertemuan dalam
proses pembelajaran. Dengan sistem reading drill secara kontinu maka
membaca akan menjadi kebiasaan peserta didik dalam belajar.Pustakawan pada perpustakaan sekolah yang didukung
oleh para guru kelas sedapat mungkin harus dapat menciptakan “kemauan”
para peserta didik untuk banyak membaca dan meminjam buku-buku di perpustakaan.
Sistem promosi perpustakaan harus diadakan dan diprioritaskan secara kontinu
agar perpustakaan dikenal apa fungsi, arti, kegunaan dan fasilitas yang dapat
diberikannya. Tanpa promosi perpustakaan yang gencar, mustahil orang akan
mengenal dan tertarik untuk datang ke perpustakaan. RUMAH CERDAS DAN KREATIF -SUMBER PEMBELAJARAN TANPABATAS- RINTISAN SWADAYA SUMBER BELAJAR GRATIS BAGI MASYARAKAT
ALAMAT : PLAOSAN RT 02 RW 20 TLOGOADI MLATI SLEMAN YOGYAKARTA 55286 - HOTLINE: 085326739300
MARI KITA CERDASKAN MASYARAKAT DENGAN KETULUSAN SEBAGAI SUMBANGSIH KEPADA NEGERI
Langganan:
Postingan (Atom)